نبذة مختصرة : Dalam kondisi pascabencana, ketergantungan terhadap jenis material standar tentu menjadi masalah. Penyintas pascabencana butuh rekonstruksi hunian sementara (huntara) yang cepat, hemat, dan kuat selama menunggu proses rekonstruksi hunian tetap (huntap). Dua tahun pascagempa 2018 di Kota Palu, belasan keluarga memilih untuk menetap di huntara yang mereka bangun menggunakan reruntuhan bangunan meskipun huntap yang ditawarkan pemerintah sudah siap huni. Penelitian ini mengungkap kisah semangat berhuni untuk bertahan hidup dari sembilan keluarga penyintas pascagempa di Kota Palu dan mengapa mereka bertahan di huntara mandirinya. Penelitian ini merupakan jenis kualitatif dengan pendekatan grounded theory di Kecamatan Mamboro Kota Palu. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan mengumpulkan dokumentasi awal dari pendamping rekonstruksi huntara, serta wawancara ke beberapa penghuni mengenai permasalahan purnahuni yang dialami dan mengumpulkan foto keadaan terkini objek penelitian, lalu dianalisis menggunakan alat ukur Evaluasi Purna Huni (EPH) yang difokuskan pada aspek teknis hunian dan dijabarkan melalui narasi deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para penyintas yang masih bertahan di huntara hingga 2021 ingin menyimpan memori dari bangunan lama di bangunan baru memanfaatkan reruntuhan material maupun komponen bangunannya, sekaligus dapat berhuni di bawah naungan yang cepat, hemat, kuat, dan tetap selamat. Penilaian EPH yang difokuskan pada aspek teknis menguatkan alasan mereka untuk menetap; segala ketidaknyamanan yang dirasakan para penyintas masih bisa ditoleransi dan cukup bisa meredam trauma pascagempa. Hasil ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dalam penggunaan kembali reruntuhan material dan komponen bangunan pascagempa bagi perencanaan mendatang yang serupa.
No Comments.